BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Aceh sebelum di pimpin
oleh para Ratu, terlebih dahulu telah ada Undang-Undang Dasar Kerajaan, sebagai
penyempurna terhadp peraturan-peratuan yang telah di buat sebelumnya, yang
dinamakan Kanun Meukuta Alam , atau disebut juga Adat Mukuta Alam, atau disebut
juga Adat Aceh.
Dalam Kanun Meukuta
Alam ini, diatur segala hal ihwal yang berhubungan denngan Negara secara
dasarnya saja, baik yang mengenai dengan dasar negara, sistem pemerintahan,
pembagian kekuasaan dalam negara, lembaga-lembaga dan lain-lainnya.
Pada saat Aceh di
pimpin oleh beberapa Ratu selama 59 tahun Aceh sangat maju, dan aceh masih
menjadi Kerajan yang terkenal, bhkan Aceh menjalin hubungan dagang yang baik
dengan kerajaan-kerjaan yangg lain.
Berdasarkan
ketenuan-ketentuan yang telah ada, maka organisasi Kerajaan Aceh Darussalam
pada masa pemrintahan para Ratu, adalah sebagai berikut:
a.
Betuk dan Dasar Negara
Dalam Kanun Meukuta
Alam ditetapkan, bahwa bentuk negara yaitu kerajaan dan dasar negara yaitu
islam, yang dapat di jelaskan sebagai berikut:
·
Negara berbentuk kerajaan, dimana kepala
negara bergelar sultan dan diangkat turun-temurun.
·
Kerajaan bernama Kerjaan Aceh
darussalam, dengan Ibu Kota Banda Aceh Darussalam.
·
Kepala Negara Bergelar sulthan Imam
Adil, yang dibantu oleh Sekretaris negara.
·
Orang kedua dalam Kerajaan, yaitu Kadli Malikul Adil, dengan empat orang.
pembantunya yang bergelar Mufti Empat.
b. Negara
Hukum
Dalam
Kanun Meukuta Alam, bahwa kerajaamn Aceh Darussalam adalah negara hukum yang
mutlak sah, dan rakyat bukan patung yang terdiri di tengah padang, akan tetapi
rakyat seperti pedang sembilan mata yang amat tajam, laggi besar matanya dan
lagi panjang sampai ketimur dan kebarat.
c. Sumber
Hukum
Kanun
menetapkan bahwa sumber hukum bagi Kerjaan Aceh.
·
Al Quran
·
As Sunnah
·
Ijmak Ulama
·
Qias
d. Cap
Sikureng
Dalam
Kanun ditetapkan, bahwa cap (stempel) Negara yang tertinggi, yaitu Cap Sikureng
(stempel sembilan), berbentuk bundar bertunjung keliling ditangah-tengah nama
Sulthana yang sedang memerintah, dan kelilingnya nama delapan orang Sultan yang
memerintah sebelumnya. Menurut Kanun, bahwa delapan orang sultan dikelilingnya
melambangkan empat dasar hukum (qur’an, sunnah, ijmak, ulama dan kias) dan
empat jenis hukum (hukum, adat, kanun, dan reusam), yang berarti bahwa sultan
Sulthan dikeliling oleh hukum.
e. Lembaga-lembaga
Negara
Kanun
menetapkan lembaga-lembaga Negara dan pejabat-pejabat tinggi yang memimpinnya,
yang ikhtisarnya sabagai berikut:
1.
Balai Rong Sari: Lemaga yang dipimpin
oleh sulthananya sendiri, yang anggotanya rterdiri dari Hulubalang Empat dan
Ulama Tujuh.
2.
Balai Majelis Mahkamah Rakyat: Lembaga
yang dipimpin oleh Kadlil Malikul Adil, yang anggotanya tujuh ouluh tiga orang
3.
Balai Gading: Lembaga yang dipimpin
wazir Mu’adhdham Orang Kaya laksamana Sari Perdana Mentri.
4.
Balai Furdhah: Lembaga yang mangurus
ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh Wazir yang bergelar Mentri Seri Paduka.
5.
Balai Laksmana: lembaga yang mengurus
hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh seorang Wazir Laksmana Amirul
Harb.
6.
Balai Majelis Mahkamah: Lemaga yang
mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, dipimpin olh seorang Wazir yang
bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan.
7.
Balai Baitul Ml: Lembaga yang mengurus
hal ihwal keuangan dan perendaharan negara, dipimpin oleh serang wazir yang
ergelar orang kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham.
B.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana
masa Pemerintahan SERI RATU ZAKIATUDDIN INAYAT SYAH dalam memerintah kerajaan
Aceh .
C.
TUJUAN
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan pemerintahaan pada masa Aceh dipimpin oleh
seorang wanita yaitu, Seri Ratu Safiatuddin Inayat Syah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PEMERINTAHAN SERI RATU ZAKIATUDDIN
INAYAT SYAH 1088-1098H (1678-1688M)
Sebelum
pemakaman Seri Ratu Nurul Alam Nakiatuddin dilaksanakan,terlebih dahulu pada
hari Ahad taggal 1 zulka’idah 1088 H. (23 Yanuari 1678 M) dinobatkan
penggantinya,yaitu Sulthanah Seri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah. Sebagaimana
halnya Ratu Safiatuddin telah mempersiapkan Nakiatuddin untuk penggantinya,
maka demikian pula sejak semula Ratu Nakiatuddin telah mempersiapkan Puteri
Raja Setia untuk penggantinya,yang kemudian setelah dinobatkan bergelar
Sulthanah Seri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah.
Menurut
catatan sejarah, bahwa pada hakikatnya Seri Ratu Tujuh Alam Safiatuddin telah
mempersiapkan tiga orang Pangeran Puteri untuk menjadi ratu dalam Kerajaan Aceh
Darussalam setelah baginda, yaitu Ratu Nakiatuddin, Zakiatuddin dan Kamalat.
Ketiga puteri bangsawan ini telah di didik dalam keraton darut dunia dengan
berbagai ilmu pengetahuan : hukum, termasuk hukum tatanegara, sejarah,
filsafat, kesusastraan, pengetahuan agama islam, bahasa arab, bahasa persia,
bahasa spanyol dan bahasa inggris. Yang mengajar bahasa Spanyol dan Inggris
yaitu seorang wanita Belanda yang menjadi sekretariat Baginda.
1.
Tegas Menghadapi V.O.C.
Kebijaksanaan
politik yang telah dijalankan Ratu Tajul Alam Safiatuddin dan Ratu Nurul Alam
Nakiatuddin, terus dijalankan oleh Ratu Zakiatuddin Inayat Syah. Tindakan keras
dan tegas terhadap kaum wujudiyah dan dalam politik yang berdiri dibelakang,
semakin diperhebat, sehingga tidak diberi kesempatan bernafas kepada mereka.
Kepada kongsi perdagangan Belanda (V.O.C.) yang semenjak pemerintahan Ratu
Tajul Alam Safiatuddin terus menerus merong-rong kedaulatan Aceh, Ratu
Zakiatuddin sama sekali tidak memberi hati, bahkan memperlihatkan giginya.
Di
Sumatra Barat dengan segera ratu menunjukkan kekuatannya kembali kpada V.O.C.,
antara lain dengan menarik kembali daerah Bayang kedalam wilayah Kerajaan Aceh
Darussalam. Sikap tegas yang demikian mendapat sambutan hangat dan baik dari
rakyat Minangkabau, sehingga menimbulkan kesulitan yang bukan sedikit bagi
Melchiol Hurdt sebagai wakil persatuan dagang Belanda (V.O.C) yang berkedudukan
di Padang. Dua tahun V.O.C. harus melakukan peperangan yang dahsyat. Pada saat
itu, Ratu Zakiatuddin Inayat Syah tidak mengabaikan segala usaha untuk
mematahkan kekuatan persatuan dagang Belanda itu untuk kepentingan dan
keselamatan rakyatnya.
Dengan
semua negara tetangga diikatnya perjanjian persahabatan dan perjanjian saling
membantu untuk melumpuhkan kekuasaan Belanda. Hanya Kerajaan Siam yang tidak
dapat ditariknya kedalam lingkungan persahabatan. Di samping menghadapi segala
tantangan dengan tegas Ratu Zakiatuddin bertindak cepat memajukan pendidikan
dan ilmu pengetahuan. Dayah-dayah yang telah ada dipelihara terus , disamping
mendirikan dayah-dayah yang baru, sementara Pusat Pendidikan Tinggi
Baiturrahman dikembangan terus dibawah pimpinan Syekh Abdurrauf Syiahkuala dan
ulama-ulama lainnya. Menasah dan mesjid dibina dan ditingkatkan fungsinya,
sehingga ajaran-ajaran agama islam merata kedalam jiwa rakyat.
2.
Kedatangan Utusan Inggris
Kedatangan
dari luar negeri bebrapa kali yaitu : dua kali utusan inggris dan sekali utusan
Syarif Mekkah. Utusan Inggris datang dari india ditahun 1684. Utusan itu
bercerita sampai di India bahwa Sulthanah ini suaranya keras dan badannya
tegap. Utusan Inggris itu yang terdiri dari tuan-tuan ord dan cawley, dari
Madras, membawa mandat dari pemerintahan jajahan inggris disana, untuk meminta
supaya inggris diberi izin mendirikan kantor dagang yang diperteguh dengan
benteng. Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Sulthanah.
Diceritakan,
bahwa pada utusan dinyatakan, bahwa ratu sendiri pun tidak akan diizinkan
mendirikan benteng di Aceh jika membahayakan kepentingan negara. Utusan
diterima oleh orang-orang besar bukan oleh ratu sendiri. Salah seorang Inggris
lain melawat ke Aceh disekitar masa Sulthanah ini memerintah, ialah Wiliam
Dampier. Antara lain didalam bukunya banyak dibaca didapati kesan-kesannya
sepintas lalu Aceh katanya : ”This country is governed by a Queen, under whom
there are 12 Orang Kayas or Geat Lords. They act in the several precints with
gret power and authority”. (Negeri ini diperintah oleh seorang ratu, dibawahnya
12 orang kaya atau pangeran agung. Mereka menjalankan kekuasaannya dalam
bidangnya masing-masing dengan hak dan kekuasaan besar.) Singkatnya dapat
dijelaskan susunan pemerintahan di Aceh seagai berikut: Sulthana
memerintahdengan di bantu oleh 12 orang Mentri (dengan berbagai titel: Kadil
Malikul Adil, Laksamana, Perdana Mentri, Syahandar dan sebagainya).
Masing-masing
mentri berkuasa dan bertanggung jawab dilapangannya. Khusus mengenai
pemerintahan Aceh Besar, disusun menurut sistem Tiga Sagi. Tiap sagi dikepalai
oleh seorang panglima. Tiap Sagi merupakan bagian dari tungku tiga sejerangan,
kekuasaannya yang utama adalah untuk menetapkan ahlli waris kerajaan. Tentang
kedatangan utusan inggris itu, Ilyas Sutan Pamenan melukiskan, bahwa mereka
meminta izin agar bole mendirikan sebuah kantor dagang dan sebuah Benteng di
Banda Aceh.
Mereka
mengharapkan dengan demikian mendapat imbangan dari kerugian yang tlah mereka
derita karena harus meninggalkan Bantam dan Pulau Silebar untuk kepentingan
V.O.C. Dengan jalan demikian mereka mengharapkan juga akan mendapat bahagian
dalam perdagangan lada di Aceh. Inayat yang mengtahui benar apa artinya sebuah
benteng bagi bangsa asing didalam daerah kerajaannya dengan sangat bijaksana
menolak permintaan itu, sambil menyatakan, bahwa biarlah baginda melindungi
perdagangan bangsa Inggris di Aceh dengan persenjataan lengkap dan cukuplah
bagi mereka mendirikan sebuah kantor dagang saja diplabuhan Aceh. Orang Inggris
tidak jadi tinggal di Aceh, mereka menyingkir pergi ke Bengkulu, hubungan
dagang Aceh dengan Batam masih terus berjalan dengan sangat lancar, malah
brtambah pesat sejak kapal-kapal Aceh mendapat gangguan dari V.O.C. di perairan
sebelah timur Pulau Sumatra. Mereka sejak itu mengambil jalan barat dan
tindakan itu bagi V.O.C. menimbulkan soal yang harus dipecahkan pula dan
menjadi buah pikiran yang sangat memusingkan.
3.
Kedatangan Utusan Syarif Mekkah
Dalam
tahun 1683 Ratu Zakiatuddin Inayat Syah menerima utusan Mekkah yang dikirim
oleh Syarif Barakat sebagai penguasa Hijaz (Mekkah dan Madinah). perutusan
Syarif Mekkah itu berada di bawah pimpinan Yusuf Al Qudsi yang berada di india
sampai empat tahun lamanya. Sulthana (India) tidak mau menerimanya, tidak pula
tertarik untuk mengetahui bingkisan yang dibawanya, karena itu, siutusan
memtuskan sendiri untuk berangkat saja ke Banda Aceh.
Setiba
di sana dipersembahkan bingkisan tersebut sambil menjelaskan bahwa bingkisan
itu adalah kiriman Syarif Barakat, Raja Mekkah, binkisan itu di terima oleh
Ratu dengan gembira. Ratu menitahkan supaya utusan tinggal dulu di Aceh, sebab
Ratu ingin mengirim bingkisan balasan, dan untuk menyiapkan perlu waktu. Utusan
itu di terima Baginda dengan segala upacara kebesaran, sehinnga menimbulkan
perasan puas pada mereka. Sekembalinya utusan dari Mekkah, di sampaikanlah oleh
merekakepada Syarif betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Raja puteri di
Aceh dan betapa patuh dan taatnnya rakyat di situ memeluk agama islam.
Rakyat
hidup rukun damai., kemakmuran terlihat dimana-mana. Pada masa pemerintahan
Ratu Zakituddin Inayat Syah, tibalah di Banda Aceh perutusan Syarif Mekkah.
Untuk menyaksikan apakah benar laporan kaum wujudyiah yang menyatakan bahwa
kerajaan Aceh di bawah Pemerintahan Ratu telah jauh menyimpang dari Agama
Islam. Dalam peninjauan para utusan itu ternyata, bahwa kerajaan Acehdarussalam
adalah benar-benar Kerajaan Islam yang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan bermahzab
Syafi’I. Sulthanah Ratu Zakiatuddin ternyata seorang raja yang taat lagi salih,
Ratu beribicara dengan para utusan Syarif Mekkah di belakang tabir dari sutra
dewangga dengan bahasa Arab yang pasih. Merek sangat kagum menyaksikan Banda
Aceh yang cantik dan permai, segala bangsa berdiam disana, kebanyakan mereka
kaum saudagar.
Ketika
mendapat kesempatan menghadap sulthanah, keheranan mereka jadi bertambah,
dimana mereka dapati tentera pengawal istana terdiri dari perajurit-perajurit
wanita yang semuanya mengendarai kuda. Pakaian dan hiasan kuda-kuda itu dari
emas, suasa dan perak. Tingkah laku pasukan kehormatan dan pakaian mereka cukup
sopan, tidak ada yang menyalahi perturan Agama Islam. Ketika mereka menghadap
sulthanah, mereka dapati Seri Ratu dengan para pembantunya yang terdiri dari
kaum wanita, duduk di balik tabir kain sutra dewangga yang berwarna kuning
berumbai-umbai dan berhiasan emas permata.
Ratu
berbicara dengan bahasa Arab yang pasih dengan mempergunakan kata-kata yang
diplomatis, sehingga menimbulkan ta’jub yang amat sangat bagi para utusan.
Dalam pergaulan dalam istana tidak satu pun mereaka dapati, yang di luar
ketentuan ajaran Islam. Mereka masih dapat menyaksikan sisa-sisa kebesaran
istan dan masjidBaiturrahim, yang dalam masa pemerintahan Ratu alam di bakar
oleh kaum wujudiyah. Ketika utusan berada disana, terjadilah suatu malapetaka,
sebuah gereja terbakar, menyebabakan emas-emas yang tersimpan disana terlebur
semuanya brubah bentuknya seperti tubuh manusia. Ratu lalu memerintahkan supaya
emas berbentuk maniusia itu turut di kirim bersama bingkisan untuk Syarif
Mekkah. Sebagai tambahan, sulthana mengirim pula jumlah uang sedekah khusus
untuk di bagi-bagikan kepada fakir miskin di mekkah. Setahun lamanya mereka
menjadi tamu Kerajaan Aceh Drussalam. Waktu mereka akan pulang, Seri Ratu Zakiatuddin
menghadiahkan kepada mereka berbagai rupa benda yang bernilai, di samping
menitipkan hadiah kepada Syarif Mekkah, Masjidil Haramdan kepada Masjidil
Nabawi di Madinah. Hadiah-hadiah tersebut terdiri dari:
1. Tiga
kinthar emas murni yang masih bergumpal-gumpal.
2. Tiga
rithal kamfer (kapur barus), kayu cendana dan jeubeut musang (eivet).
3. Tiga
gulyun (alat penghisap tembakau) dari emas.
4. Dua
penyondong (lampukaki) dari pada emas
5. Lima
lampu gantung dari pada emas.
6. Lampu
kaki dan kandil dari pada emas.
Utusan tiba di Mekkah
kembali pada waktu Syarifsai’id telah menggantikan ayahnya menjadi raja. Mereka
kembali ke Mekkah dan sampai di Mekkah pada bulan Sya’ban 1094 (14 september
1683). Dalam rombongan Syarif yang datang k Aceh itu, ada dua orang Syarif bersaudara,
yaitu Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim. Ketika itu terjadilah pertikaian antara
sesama Syarif yang berhak mendapat bagian ¾ dari seluruh hasil di Mekkah pada
satu pihak dengan pihak syarif Besar Sa’id. Golongan Syarif-Syarif manuntut
supaya ¾ dari bingkisan dari Aceh itu di serahkan ke pada mereka, sedang Syerif
sendiri tidak bersedia menyerahkannya. Untuk tidak meruwetkan, diadakan
persetujuan sementara, yaitu selama Syarif El Harith, pada akhirnya tercapai
persetujuan bahwa golongan pemilik ¾ diserahi ½ dari bingkisan itu, tapi dalam
pengertian bahwa itu adalah pemberian dari Syarif Besar kepada mereka,
Demikianlah
pembagian dilakukan dan sedekah untuk fakir miskin dibagi-bagikan. Snouck
Hurgronje mencacat bahwa ketika utusan Mekkah pulang telah turut juga utusan
Aceh ke Mekkah khusus, tugasnya untuk mengawasi pembagian merata dari
sedekah-sedekah untu fakir misakin. Selama rombongan mereka berada di Aceh,
telah menarik beberapa orang pembesar yang dalam hatinya yang memang anti
kepada Raja Wanita.
Dalam
menjalankan rencananya, yaitu mentiadakan Dinasti Ratu, mereka melihat dua
Syarif bersaudra yang ambisus dapat diajak serta. Karena itu, mereka
mengusulkan kepada ketua peutusn agar Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim bolh
tinggl di Aceh untuk membantu pengembangan ajaran-ajaran Islam, dimana
permintaan di kabulkan,teristimewa karena dua Syarif bersudara telah
menyetujuinya karena mereka telah lebih dahulu dihubunginya dengan brmacam
janji antara lain, kalau Ratu dapat di jatuh kan oleh seorang diantara mereka
akan diangkat menjadi Sulthan. Demikianlah, pada awal tahun 1094 H. ketua dan
para anggota perutusan bertolak kembali ke Mekkah dengan seperangkat hadiah,
kecuali yang tinggal Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim. Sekian peristiwa itu,
kurang terang apa yang di maksud dengan gereja, sepertinya yang dimaksud itu
adalah bukan Gereja tetapi Mesjid Baitu’l-Rahman , yang disebut-sebut pada masa
Nuru’l-Alam menjadi rajalah Mesjid besar telah terakar habis, tetapi boleh jadi
bukan dimasa Nuru’l-Alam, tapi dimasa Inayat Syahlah mesjid terbakar.
4. Zakiatuddin
Wafat
Selama memerintah, Rtu
Zakiatuddin telah brbut banyak untuk mempertahankan sisa-sisa kbesaran Aceh.
Sekalipun baginda tidak sanggup mengembalikan Aceh kepada martabat sperti di
zaman Iskandar Muda, namun baginda tlah dpt memprtahankan keadan Aceh seperti
waktu diwarisinya, bahkan dalam beberapa hal dapat di tingkat kan kembali.
Setelah memerintah selama sepuluh tahun, pada hari Ahad tanggal 8 Zulhijjah
1098 H. (3 Oktober 1688 M.), Sulthana Seri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah
berpulang ke Rahmatullah. Sebaik ia meninggal timbul banyak perebutan tahta,
golongan pemerintah (para menteri) menginginikan supaya tidak lagi permpuan
menjadi raja.
Sebalikny golongan Tiga
Sagi ingin supaya perempuan tetap jadi pilihan. Akhirnya Tiga Sagi menang,
karena mereka lebih kuat nampaknya, maka diangkatlah lagi seorang puteri
bangsawan yang menjadi pemimpin.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada
saat Kerajaan Aceh di pimpin oleh beberapa Ratu selama 59 tahun Kerajaan Aceh
sangat maju, dan Kerajaan Aceh masih menjadi Kerajaan yang terkenal, bahkan
Aceh menjalin hubungan dagang yang baik dengan kerajaan-kerjaan yang lain.
Zakiatuddin
merupakan pemimpin wanita ketiga pada Kerajaan Aceh Darussalam. Ia merupakan
anak dari seri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin yang menurut cacatan ayah
zakiatuddin adalah Sultan Muhammad Syah. Pada Saat Kerajaan Aceh di pimpin oleh
Seri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah Kerajaan Aceh sangat maju, Ratu Zakiatuddin
adalah pemimpin yang taatl dan salih, buktinya ia lebih mementingkan
kepentingan rakyatnya, pada saat Pemerintahan jajahan inggris meminta supaya
Inggris diberikan izin untuk mendirikan kantor dagang yang diperteguh dengan
Benteng, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Ratu dengan alasan dapat
membahayakan kepentingan Negara.
Ratu
Zakiatuddin sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya dan keselamatan
kerajaannya. Rakyat pun sangat menghormati pemimpinnya, rayat juga hidup rukun
dan damai.
B. SARAN
Inilah
hasil penulisan makalah kami, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
pembuatan makalah ini, maka dari itu kami menerima saran dan kritik guna untuk
membangun makalah ini, serta agar sempurnanya pembuatan makalah kami
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasjmy,
A. 59 Tahun Aceh Merdeka di bawah Pemerintahan Ratu. Bulan Bintang: Jakarta.
Said mohammad, H. Aceh Sepanjang abad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar